MAKASSAR, MERATA.NET – Aliansi Perjuangan Rakyat (Alpar) menolak kenaikan Upah Minimum Kota (UMK) Makassar yang ditetapkan berdasarkan PP 36 tahun 2021 tentang Pengupahan.
Jenderal Lapangan ALPAR, Taufik mengatakan, pihaknya menilai, kenaikan upah 2022 sangat jauh dari kata layak untuk pekerja buruh di Kota Makassar.
“Kami menolak kenaikan upah minimum tahun 2022 karena kami menilai penetapan kenaikan upah minimum ini sangat jauh dari kata layak. Dan formula PP 36 Tahun 2021 yang digunakan sebagai dasar penetapan upah minimum menurut kami sangat bertentangan dengan aturan lainnya yang terkait dengan kebutuhan hidup layak dan penetapan upah minimum,” ujar Taufik saat melakukan Aksi di Kantor Disnaker Makassar, Selasa (23/11/2021).
Kenaikan upah minimum buruh sebesar 1.09 persen untuk tahun 2022 yang ditetapkan oleh kementrian ketenagakerjaan dinilai terlalu kecil dan tak cukup untuk kebutuhan hidup layak.
Ia juga meminta, pemerintah mencabut UU No. 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja.
UU Omnibus Law atau UU Cipta Kerja yang telah disahkan pada tanggal 05 Oktober 2020 tahun lalu merupakan bentuk atau upaya pemerintah dalam melakukan penjajahan modern terhadap rakyatnya.
“Setahun sejak di tetapkannya, UU ini sudah sangat banyak merugikan rakyat terutama kaum buruh,” katanya.
“Dimana UU ini telah mendegradasi hak-hak buruh. Banyaknya pasal-pasal dan juga PP turunan yang melegalkan penerapan UU Cipta Kerja yang membuat buruh saat ini berada dalam keterpurukan dan semakin jauh dari kata sejahtera,” tambahnya.
Taufik mengatakan, penetapan upah minimum tersebut mengacu pada UU Cipta Kerja Tahun 2020 yang kemudian diturunkan melalui PP No. 36 Tahun 2021 ini dianggap lebih memberikan proteksi kepada pengusaha daripada kaum buruh, padahal negara seharusnya memproteksi hak-hak kaum buruh sebagai elemen masyarakat yang lemah.
Penetapan upah minimum yang menggunakan formula PP 36 ini di nilai tidak memiliki landasan hukum karena UU Cipta Kerja saat ini masih sedang di gugat di Mahkamah Konstitusi.
Selain itu, formula yang digunakan dalam PP 36 Tahun 2021 juga mencerminkan system penerapan upah murah di Indonesia dan tidak lagi memperhatikan kebutuhan hidup yang layak bagi buruh.
“Berdasarkan survey kami di beberapa pasar di Kota Makassar, hasil dari peninjauan kebutuhan hidup layak berada di angka Rp. 4.481.285 sesuai dengan 64 komponen dan jenis kebutuhan hidup layak berdasarkan Permenaker No. 18 Tahun 2020, padahal Permenaker tersebut dibuat setelah pengesahan UU No. 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja,” terangnnya.
Menurutnya, upah di Kota Makassar saat ini angkanya berada sangat jauh dari angka kebutuhan hidup layak. Sampai saat ini, dewan pengupahan maupun pemerintah tidak pernah mengumumkan kebutuhan hidup layak yang seharusnya menjadi acuan penetapan upah minimum.
“Pasca perubahan system penetapan upah minimum berdasarkan UU No. 13 tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, kenaikan upah minimum di Indonesia sudah tidak lagi mempertimbangkan kebutuhan hidup layak,” pungkasnya.
Aksi demo ini sempat ricuh, lantaran salah seorang massa ingin menerobos masuk kedalam ruang rapat yang sedang berlangsung membahas penetapan UMK Kota Makassar oleh Disnaker bersama Dewan Pengupahan Kota Makassar. Beruntung petugas keamanan melerai aksi keributan di Kantor Disnaker. (Jan/Rik)